DR. H. Herdian Asdien, SH, MM, Busyro Muqoddas, Candra P. Pusponegoro |
Karena itu, klaim beberapa pihak yang mengaku dirinya paling demokratis, sehingga lahir julukan "pendekar reformasi dan demokrasi".
Ataupun seolah-olah menunjukkan bahwa proses demokrasi di Indonesia dewasa ini sebagai hasil kreasi pribadi kelompoknya sesungguhnya tidak lebih dari sebuah retorika politik.
Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah bagaimana sebuah negara berproses menuju demokratisasi? Pertama model transformasi.
Dalam hal ini inisatif demokratisasi berasal dari pemerintah, maka pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik.
Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat sementara masyarakat sipilnya sangat lemah.
Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika pemerintahan Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira masuk dalam model ini.
Kedua, model replasi. Model ini terjadi ketika pemerintahan yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi.
Ketiga, model intervensi. Model ini terjadi lebih disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal yang turut campur tangan.
Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi angkatan perang Amerika Serikat kepada Pemerintah Panama dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius.
Intervensi ini pada akhirnya mendorong dilaksanakannya pemilihan umum yang demokratis sesudah itu.
Bagaimana halnya dengan kasus demokratisasi di Indonesia? Apakah seperti tanpa kritik yang berarti?
Dan sedikit sekali orang membantah penegasan teori Francis Fukuyama yang mengatakan bahwa runtuhnya Uni Soviet telah mendatangkan akhir bagi pencarian historis manusia atas bentuk pemerintahan yang universal.
Analisanya tentang The end of History and the Last Man (1992) yang memenangkan daftar best seller di AS, Jepang, dan Perancis, dan juga memenangkan The Los Angeles Times Book Critic Award, memang berkisah soal gelombang dahsyat demokrasi dan keterbukaan.
Melalui Glasnots dan Perestroika, Uni Soviet hanya menyisakan sepotong Rusia sebagai raksasa yang nyaris lumpuh tanpa daya. Kini tidak ada sejengkalpun bumi manusia yang tidak terserang demam' eismedemokrasi.
Lebih dari 68 tahun kemerdekaan Indonesia, bahkan sebelum republik ini berdiri, kitapun sudah belajar tentang demokrasi, namun sayangnya kita belum juga lulus sebagai seorang demokrat.
Akankah Indonesia mengalami nasib serupa seperti Uni Soviet dan negara-negara lain yang remuk tercabik-cabik karena tidak siap digelontor tsunami demokrasi? Pikiran waras pasti tidak membiarkan hal itu terjadi.
Oleh karenanya, setiap wacana tentang demokrasi mengemuka, relevan untuk mendapatkan tempat untuk diperbincangkan, dikaji, dan dikritisi.
Sebab istilah demokrasi telah menjadi perbincangan serius banyak orang saat ini dan menggeser wacana pemban¬gunan yang kukuh selama ini.
Jika demokrasi dipahami sebagai pengakuan akan atribut kedaulatan rakyat, maka demokratisasi bermakna sebagai upaya untuk mempertahanakan asas kerakyatan yang sebenar-benarnya di segala bidang kehidupan.
Sekurang-kurangnya dalam empat bidang, yakni politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Dalam artian universal demokrasi politik meniscayakan distribusi kekuasaan masyarakat (rakyat) berada di atas negara karena negara dibentuk oleh rakyat yang berdaulat.
Demokrasi ekonomi mengandaikan kekuasaan produktif berada di tangan sebagaian besar rakyat bukan pada per orangan (konglomerasi).
Sementara demokrasi sosial berarti tersedianya jaminan kesejahteran rakyat dengan alokasi memadai dan demokrasi budaya bermakna adanya jaminan kebebasan berekspresi, baik rasional maupun fiskal.
Ditilik dari praksis prosesual, peletakan demokrasi politik merupakan pilar penting berdasar asumsi krusialitas dan urgensi.
Sehingga, kegagalan peletakan dasar demokrasi politik secara fundamental akan mengimbas pada kegagalan pelaksanaan demokrasi lainnya.
Dalam konteks Indonesia kekinian, berdasarakan beberapa parameter non definitif, tampak jelas bahwa selama ini sering terjadi kegagalan dalam upaya meletakkan pilar (dasar elemeter) demokrasi.
Padahal mestinya hal itu tidak terjadi apabila kita arif memahami perspektif sejarah.
Ketika kita menyebut situasi politik sejak Indonesia merdeka hingga 1959 misalnya, format penerapan demokrasi dilabeli beragam. Ada yang menyebut demokrasi konstitusional atau demokrasi parlementer.
Sebab beragamnya konstitusi yang dipakai, mulai dari UUD 1945, UUD RIS, UUDS, sebelum akhirnya kembali ke UUD 1945.
Juga terjadi penghormatan lebih kepada lembaga perwakilan rakyat yang memang pada tahun-tahun tersebut menorehkan catatan terbaik dalam sejarah politik kontemporer.
Contoh lain ketika kita menyebut situasi politik sejak 1959-1965, format demokrasi politik yang diterapkan adalah demokrasi terpimpin sebagai ciri orde lama di bawah Presiden Soekarno.
Demikian juga ketika kita menyebut situasi politik sejak 1966 hingga bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Pak Harto pada tanggal 21 Mei 1998.
Format demokrasi yang diterapkan konon diberi nama Demokrasi Pancasila. Namun fakta membuktikan, hampir semua format demokrasi yang kita pilih dianggap gagal menyejahterakan rakyat.
Jika dicermati, ragam format demokrasi tersebut bukannya tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Kegagalan justru disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penerapannya atau karena ada faktor lain yang menyelewengkannya.
Bukankah beberapa kajian ilmiah menyimpulkan bahwa demokrasi konstitusional ternyata sangat bagus, toleran, dan integratif?
Namun, sebagaimana dipastikan oleh Herbert Feith (1962), format demokrasi itu gagal karena pertengkaran-pertengkaran internal elit yang berkepanjangan.
Bahkan sampai saat ini ada yang secara terus-menerus dan terus terang menyebut kegagalan tersebut karena adanya konspirasi-konspirasi.
Tidak terkecuali Demokrasi Pancasila yang berintikan musyawarah untuk mufakat, juga dianggap mengalami kegagalan.
Hal ini dikarenakan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tidak mendahulukan musyawarah untuk mengambil mufakat, namun sebaliknya, diambil pemufakatan lebih dahulu baru kemudian dilakukan musyawarah dengan trik tertentu.
Perspektif sejarah mengajarkan bahwa sampai saat ini, demokrasi tidak dijalankan secara konsisten.
Sedangkan format demokrasi apapun yang muncul selalu tidak ideal karena dirusak tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab.
Kalau ada yang mengatakan bahwa kegagalan diakibatkan kultur politik yang tidak kondusif maka hal itu jelaslah sangat keliru.
Sebab demokrasi merupakan proses sosial sehingga dengan sendirinya demokrasi menjadi variabel independen bagi terciptanya kultur politik dan bukan sebaliknya.
Jika kultur politik dianggap sebagai korelasi demokrasi, tentu di dunia ini tak ada negara yang demokratis.
Pada era reformasi yang sudah berjalan bertahun-tahun ini, memunculkan pertanyaan bagi kita?
Format demokrasi seperti apakah yang akan dipilih untuk menuju Indonesia Baru yang demokratis berkeadilan?
Menurut hemat kita, bahwa demokrasi bukanlah soal pilihan melainkan subtansi pelaksanaan.
Demokrasi tetaplah demokrasi tak perlu ada embel-embel macam-macam. Sebab instrumen demokrasi secara konstitusional telah tersedia.
Ditilik dari segi pengambilan keputusan misalnya, UUD 1945 sebenarnya menganut majoritarian democracy sekaligus memungkinkan penerapan consensual democracy.
Sementara dari segi mekanisme rekruitmen politik, jelas dianut demokrasi perwakilan bukan demokrasi langsung.
Tapi, dengan melihat perspektif kekinian dan era multi partai untuk pengambilan keputusan diperlukan kombinasi antara demokrasi mayoritas dan konsensus dengan aksentuasi pada perluasan tingkat keterwakilan (rate of representativeness).
Sedangkan untuk rekruitmen politik, khususnya pemilihan pemimpin nasional sudah saatnya diterapkan demokrasi langsung seperti saat ini.
Tentu saja mau tidak mau, suka tidak suka diperlukan agenda untuk melakukan perubahan.
Sebab ibarat baju, kotomisasi demokrasi sudah terlalu sempit untuk dapat menampung aspirasi dan partisipasi beragam masyarakat yang terus menerus dinamis seiring dengan tuntutan zaman.
Jika pilihan demokrasi sudah menjadi satu soal, maka menjaganya adalah soal lain. Agar di masa saat ini demokrasi tetap terjaga, agaknya tidak ada alternatif lain kecuali melembagakannya (institusinalisasi demokrasi).
Sebagaimana disiratkan oleh Fukuyama, bahwa demokrasi merupakan akhir pencarian manusia atas peradaban politik universal.
Kongkretnya jika demokrasi dianggap sebagai kontinum otoriterisme dan liberalisme, maka tidak boleh dikembangkannya liberalisme.
Instrumen pengendalinya adalah lembaga kontrol sosial politik, kekuasaannya pasti otoriter, tanpa supremasi hukum peri kehidupan menjadi liar dan cenderung liberal.
Persoalannya ialah lembaga kontrol dan hukum manakah yang meski dihidupkan dan ditegakkan?
Di luar peran penting pers dan fungsi ruang publik, harapan lain dapat digantungkan pada pelaksanaan pemilu yang demokratis dan bernuansa reformis, jujur, dan adil.
Sebab darinyalah akan tersedia lembaga kontrol yang representatif dan memungkinkan terciptanya hukum yang berkeadilan sosial sebagai pilar pelaksanaan demokrasi.
Oleh karena itu, partisipasi politik masyarakat yang mengakibatkan berbagai krisis diprakirakan sangat rendah, bahkan cenderung apolitis.
Maka haruslah diupayakan optimal pendidikan calon pemilih dengan demikian tetap harus dilakukan dalam membangun kesadaran demokratisasi sampai tingkat bawah. (Membongkar Mitos Demokasi Bangsa Kita)